Minggu, 02 Februari 2020

TAHMIED BAG-I



TAHMIED
(Oleh Abdul Qadir Hassan)
            Untuk melengkapi pengertian masalah-maslah dalam kitab “SOAL JAWAB” yang pernah diterbitkan oleh Persatuan Islam Bandung dan Bangil yang sekarang diterbitkan oleh c.v. DIPENOGORO Bandung (1) Maka atas permintaan penerbitnya, saya susunlah TAHMIED ini.
            TAHMIED ini saya bagi atas 4 bagian :
1.         Yang behubungan dengan hukum-hukum syari’at
2.         Yang behuubungan Bahasa (lughat)
3.         Yang behubungan dengan ‘Ilmu Hadits, dan
4.         Yang behubungan dengan Ushul Fiqih

(1)        HUKUM-HUKUM SYARA’
Ketentuan-ketentuan dari Allah dan Rasul-Nya yang bersifat perintah, larangan, anjuran dan yang seumpamanya, oleh ‘ulama-‘ulama diishthilahkan dengan HUKUM-HUKUM SYARA’, HUKUM-HUKUM SYARI’AT atau HUKUM-HUKUM AGAMA.
Dengan ketentuan-ketentuan yang mereka adakan itu, ‘ulama-‘ulama mengeluarkan beberapa macam hukum.
Cukuplah dalam TAHMIED ini kita mengenal 5 macam hokum yang biasa disebut-sebut, yaitu : 1) wajib 2) sunnat 3) haram 4) makruh 5) mubah.

WAJIB :
Tentang “wajib ini, ada banyak ta’rif yang dikemukakan oleh ‘ulama-‘ulama. Diantaranya, yang agak tepat, ialah ta’rif yang berbunyi.
“wajib” itu satu ketentuan agama yang harus dikerjakan. Kalua tidak berdosalah.
Umpamanya : shalat ‘Isya’, hukumnya “wajib”, ya’ni satu ketentuan yang harus dikerjakan. Kalua orang Islam tidak mau shalat yang diperintah itu, berdosalah ia.
Alasan yang diapaki untuk mmembuat ta’rif tersebut, adalah firman Allah s.w.t, diantaranya :
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Artinya : Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah¬nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa ‘adzab yang pedih. (Quran, An-Nur 24 : 63)
Ayat ini dengan tegas menunjukan bahwa orang yang melanggar perintah Allah (=Agama) itu, akan disiksa, sedang yang akan di-adzab itu tidak lain, melainkan orang yang berdosa.

SUNNAH :
Ta’rif untuk “sunnah”, demikian :
“SUNNAH” itu satu perbuatan yang kalau dikerjakan akan di beri ganjaran, tetapi kalau tidak dikerjakan tidak berdosa.
Contoh : Nabi s.a.w berabda :
صُمْ يَوْمًا وَأَفْطِرْ يَوْمًا -ر- البخاري و مسلم
Artinya : Shaumlah sehari, dan berbukalah. (Riwayat Bukhary dan Muslim).
            Dalam hadits ini,ada perintah “shaumlah”. Kalau perintah ini dianggap “wajib”, berarti menyalahi sabda Nabi s.a.w yang dihadapkan kepada seorang Arab gunung, bahwa shaum yang wajib itu, adalah shaum bulan Ramadlan saja. Maka “perintah dalam hadits itu tidak  wajib. Kalau bukan wajib, maka sesuatu perintah itu menuju kepada dua kemungkinan : (1) kemungkinan “sunnah” dan (2) kemungkinan “mubah”.
            “Shaum” adalah soal Agama atau ibadat. Perintah yang bukan wajib, kalau berhubung dengan ‘ibadat, dihukumkan “sunnah”. Maka “shaum” sehari, berbuka sehari itu, hukumnya “sunnah”, yaitu kalau dikerjakan mendapat ganjaran, tetapi tidak berdosa, kalau  tidak dilakukan.
            Alasan untuk ketetapan demikian itu, ada banyak. Diantaranya firman Allah s.w.t.
لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ
Artinya : Dan bagi orang-orang yang berbuat kebaikan (disediakan) kebaikan dan tambahan. (Quran, Yunus 26)
            Ayat tersebut, menunjukan bahwa orang yang mengerjakan sesuatu kebaikan, selain mendapat balasan, ada pula tambahan. Tambahan inilah yang biasa kita katakana “ganjaran”.

HARAM :
Ta’rief bagi hukum “haram” itu, diantaranya demikian :
“HARAM” itu satu ketentuan larangan dari Agama yang tidak boleh dikerjakan. Kalau orang yang melanggarnya, berdosalah orang itu”.
Umpamanya : Nabi s.a.w bersabda :
لَا تَأْتُوْا الْكُهَّانَ -ص.ر. الطبراني-
Artinya : Janganlah kamu mendatangi tukang-tukang tenung. (Shahih Riwayat Thabrani).
            “Mendatangi tukang-tukang tenung” dengan tujuan menanyakan sesuatu hal ghaib, lalu dipercayainya itu, tidak boleh. Kalau orang berbuat yang demikian itu, berdosalah ia.
            Alasan untuk ta’rief “haram” tersebut, diantarnya, sama denagn alas an yang dipakai untuk menetapkan ta’rief wajib, yaitu ayat Quran, surah An-Nur 63.

MAKRUH :
            Arti “makruh” : Dibenci. Diantara ta’rief-ta’riefnya yang kena, adalah begini :
            “MAKRUH” itu, satu ketentuan larangan yang  lebih baik tidak dikerjakan daripada dilakukan.
            Sebagai contoh : “Makan binatang buas”. Dalam hadiet-hadietnya ada larangannya. Kita hukumkan dia “Makruh”.
            Jalannya begini : Dalam Al-Quran, surah Al-Baqarah, ayat 173, Allah telah membatas yang haram dimakan, yaitu hanya satu saja, yaitu babi. Maka kalau “larangan” makan binatang buas itu kita huukumkan haram  juga, berarti sabda Nabi s.a.w yang melarang binatang buas itu, menentangi Allah. Ini tidak mungkin. Berarti binatang buas itu “tidak haram”. Kalau tidak haram, ia berhadapan dengan dua kemungkinan hokum : mubah atau makruh. “Mubah” tidak  kena, karena Nabi s.a.w melarang, bukan memerintah. Jadi “larangan” Nabi s.a.w dalam hadiets-hadiets tentang binatang buas  itu, kita ringankan. Larangan yang ringan tidak lain, malainkan “makruh”. Kesimpulannya : Binatang buas itu “makruh”.

MUBAH :
            “Mubah” artinya : Dibolehkan. Sering juga disebut “halal”.
Ta’riefnya begini :
            “MUBAH itu, ialah satu perbuatan yang tidak ada ganjaran atau siksaan bagi orang yang mengerjakannya atau tidak mengerjakannya”.
            Umpamanya : Dalam Al-Quran ada perintah makan, “perintah ini dianggap “mubah”.
            Alasannya begini : kalau kita anggap “perintah makan” itu “wajib”, maka anggapan ini tidak kena, karena “makan” ini suatu perbuatan yang mau tidak mau, diperintah atau tidak mesti dilakukan oleh setiap manusia.
            Sesuatu yang sudah mesti dan ta’ dapat di-elak, tidak perlu di- “wajibkan”. Berarti “perintah” Allah itu bukan wajib. Sesuatu yang bukan wajib, menghadapi dua kemungkinan hokum : sunnat dan mubah.
            Oleh karena “makan” itu soal keduniaan, dan satu kemestian yang tidak boleh terlepas dari manusia, maka bukanlah ia sesuatu ‘amal yang dijanjikan ganjaran padanya. Kalau bukan ‘amal, maka hukumnya adalah “mubah”.

KESIMPULAN DAN PENJELASAN :
1.      Ta’rief-ta’rief yang saya sebutkan di atas, adalah ta’rief -ta’rief sederhana untuk memudahkan pengertian.
2.      Perintah-perintah Agama mempunyai hukum :  wajib atau sunnat atau mubah.
3.      Hukum wajib dan sunnat  ada pada amal-amal ‘ibadat dan keduniaan, tetapi hukum mubah hanya ada pada keduniaan.
4.      Larangan-larangan Agama mempunyai hukum-hukum : haram dan makruh. Hukum-hukum  ini ada dalam ‘ibadat dan keduniaan.

Insya Allah bersambung pada BAG-II.......


Bagi yang memerlukan bukunya 
Silahkan chat via WA 089633099798

Share this post
  • Share to Facebook
  • Share to Twitter
  • Share to Google+
  • Share to Stumble Upon
  • Share to Evernote
  • Share to Blogger
  • Share to Email
  • Share to Yahoo Messenger
  • More...

0 komentar

:) :-) :)) =)) :( :-( :(( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ :-$ (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer

 
© 2011 Zeni Berkarya
Designed by Blog Thiet Ke
Posts RSSComments RSS
Back to top